Kolom

Cara Memahami Agama Bagi Orang Awam

Robby Karman (Sekjend IMM 2018-2020)

Bagaimanakah cara memahami agama yang benar bagi orang awam? Apakah harus bermazhab? Atau harus berijtihad sendiri? Pertanyaan dan perdebatan soal ini berseliweran di dinding facebook saya beberapa hari ini. Karena itu saya ingin mencoba urun rembuk untuk melengkapi pendapat-pendapat yang sudah ada.

Yang penting untuk kita pahami adalah bahwa orang awam, seawam apapun dia, diperbolehkan untuk mengakses Al Qur’an, hadits maupun kitab-kitab ulama secara langsung. Kita tidak bisa melarang mereka seperti apa yang terjadi pada masa lalu. Kitab suci hanya boleh dibaca oleh kasta brahmana. Sedangkan kasta di bawahnya dilarang membaca.

Kalaupun dilarang, dengan kemajuan teknologi hari ini kitab-kitab tersebut akan tetap bisa diakses. Dahulu para santri dilarang membaca Kitab Syamsul Ma’arif Kubro atau Mujarrabaat karena isinya tentang mistik. Sekarang dua kitab ini pdfnya bisa dengan kita mudah di internet. Dua kitab ini menjadi tidak sakral lagi.

Bagaimana Cara Belajar yang Benar?

Tinggal persoalannya adalah, bagaimana cara belajar agama yang benar bagi orang awam? Dalam Al Qur’an, Allah menjelaskan bahwa ayat-ayat dalam Al Qur’an itu ada yang muhkamat dan ada yang mutasyabihaat. Secara sederhana muhkamat itu bisa langsung dipahami, dan mutasyabihat itu tidak bisa langsung dipahami.

Orang awam dipersilahkan untuk langsung membaca ayat-ayat muhkamaat dan langsung memahaminya. Kalau tidak bisa berbahasa Arab boleh dari terjemahan. Misalnya Al Qur’an surat Al Mu’minun berisi tentang ciri-ciri orang yang beriman. Isinya sangat jelas. Orang awam bisa langsung membacanya dan mengamalkannya.

Tapi ayat-ayat mutasyabihat seperti soal tangan Allah, atau Allah bersemayam di atas Arsy, saran saya orang awam jangan langsung mengambil kesimpulan sendiri. Tapi bacalah pendapat-pendapat ulama terhadap ayat tersebut. Karena ini adalah ayat mustasyabihat.

Selanjutnya, ayat-ayat yang berisi mengenai kisah para Nabi dan akhlakul karimah, orang awam bisa langsung memahaminya sendiri. Misalnya ayat soal kisah Nabi Yusuf, Kisah Nabi Ibrahim, Kisah Nabi Ayyub. Atau ayat bahwa dalam diri Rasulullah ada suri teladan, ayat perintah birrul walidain, semua ini bisa dipahami langsung oleh orang awam. Tidak berguru pun tidak apa-apa.

Namun dalam ayat-ayat ahkam, atau yang berisi hukum-hukum fikih, saran saya jangan langsung belajar dari Al Quran atau hadits. Tapi belajarlah dari kitab fikih. Karena lebih efektif begitu. Ini bukan soal anda bermazhab atau tidak. Anda tidak bermazhab Syafii pun lebih enak belajar fikih dari buku fikih. Karena isinya sudah sistematis beserta penjelasannya.

Kalau anda bermazhab anda bisa merujuk pada kitab-kitab standar pesantren salaf. Misalnya Fathul Qarib atau Safinatun Najaa. Kalau anda tidak bermazhab anda bisa membaca Mu’inul Mubiin karya Syaikh Abdul Hamid Hakim atau Fikih Islam karya H. Sulaiman Rasjid. Lebih baik lagi kalau dengan bimbingan guru, karena jika ada yang musykil maka bisa segera didiskusikan.

Jadi dalam pandangan saya apakah orang awam boleh mengambil langsung dari dalil atau harus lewat ulama ini tergantung konteksnya. Dalam persoalan yang memang bisa langsung dipahami, silahkan orang awam langsung mengakses Al Qur’an dan hadits. Misalnya soal kisah hikmah dan ajaran soal akhlakul karimah.

Namun dalam soal fikih dan akidah, hemat saya lebih efektif dan efisien jika kita membaca karya ulama yang sudah menyusunnya secara sistematis.

Terakhir, yang harus diingat bagi orang awam adalah bahwa prioritas ilmu anda adalah untuk diamalkan oleh diri sendiri. Kalau anda mau naik level menjadi seorang pengajar, maka anda harus menjalani serangkaian proses lagi.

Seorang ahli ekonomi tak lantas bisa jadi guru ekonomi, namun harus mengambil akta IV dulu. Apalagi jika anda awam soal ekonomi, jangan memposisikan seolah anda dosen ekonomi.

Tentu saja bukan berarti kita tidak boleh tabligh atau menyampaikan ilmu yang kita punya kepada orang lain. Boleh saja, bahkan kata Nabi sampaikanlah walau satu ayat.

Hanya kalau kita masih awam, lalu kita tabligh, ketika ada feedback dari yang lain, jadikan itu sebagai sarana pembelajaran. Bukan malah ngotot-ngototan menjadi perdebatan yang mengeraskan hati.

Ketika anda dikoreksi oleh yang lain, berterima kasihlah karena itu jadi pelajaran buat anda. Bukan malah debat kusir.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button